Oleh: Bukhori
(Wakil Ketua PW GP Ansor Kalbar)
Selepas shalat Isya’ tadi malam (23/9/2022), saya berkesempatan menghadiri kegiatan Tahlilan yang diadakan bertepatan dengan meninggalnya nenek dari sahabat saya ustad Suri. Lokasinya yang tak jauh dari kediamanku, memungkinkanku untuk menghadiri kegiatan ini, rutin dari malam pertama hingga malam ketujuh.
Setelah rangkaian tahlil-an selesai, lengkap dengan menikmati suguhan hidangan sebagai bentuk sadaqah dari tuan ruma, saya terlibat perbincangan ringan dengan beberapa ustadz yang hadir pada saat itu. Salah satu topik yang dibicarakan adalah kalimat yang lazim dibaca oleh sebagian kiyai-kiyai kampung sebelum pembacaan kalimat tahlil -pada saat tahlilan-, yaitu kalimat :
لا إله إلا الله حي موجود
Penyematan kata موجود yang dinisbatkan kepada Allah dalam ungkapan ini, -menurut pandangannya- merupakan kekeliruan yang fataL dan dapat menyebabkan pada kekufuran. Hal itu disebabkan kata _“maujud”_ secara literal bermakna “diadakan”, yang berarti menghendaki adanya pihak yang “mengadakan”. Jika kata ini disifatkan kepada Allah SWT, jelas dapat menjerumuskan pada kekufuran yang nyata.
Disebabkan waktu perbincangan yang cukup terbatas, pada saat itu saya hanya menanggapi bahwa persoalan semacam ini tidak cukup dengan pendekatan linguistik semata, namun juga perlu melakukan penelusuran pada teks-teks hadis yang kemungkinan menggunakan term tersebut, atau ulasan ulama salaf yang pernah menguraikannya dengan pendekatan yang lebih komprehensif.
Pagi ini, kebetulan bertepatan dengan hari libur, saya mencoba melakukan pelacakan ke beberapa literatur. Dari hasil penelusuran terhadap beberapa literatur yang cukup terbatas, saya temukan beberapa penjelasan sebagai berikut:
Secara etimologi, lafaz موجود merupakan bentuk isim maf’ul dari kata kerja وجد – يجد – وجودا – وجدا – واجد – موجود . Kata ini merupakan bagian dari _af’al al-qulub_ (pekerjaan hati). Dalam kamus al-maany term _maujud_ dari perspektif tasawuf dan filsafat diartikan sebagai “sesutau yang tetap dalam hati dan dalam hakikat/kenyataan” _(at-Tsa>bitu fi adz-Dzihni wa fi al-Haqi>qah)_.Sedangkan dalam Mu’jam Ar-Ra>id kata ini diartikan sebagai sesuatu yang hadir, hasil, tidak bersifat tiada _(‘adam)_.
Dengan demikian, dari sisi terminologis, term _“mauju>d_ tidak selamanya menghendaki adanya pihak yang “mengadakan”, selain itu, kata ini kerap dilawankan dengan kata عدم (tiada) dan معدوم (yang ditiadakan).
Imam al-Baqilla>ni (338 – 403H), salah seorang ulama besar bermadzhab Asy’a>riy, dalam kitab al-Insha>f memberikan penjelasan yang lebih komplit. Beliau menguraikan:
والموجود هو الشيء الكائن الثابت. وقولنا شيء إثبات، وقولنا ليس بشيء نفي. قال الله تعالى: " قل أيّ شيء أكبر شهادة قل اللّه " وهو سبحانه موجود غير معدوم. الإنصاف للباقلاني - (1 / 2)
_Maujud bermakna sesuatu yang ada dan tetap. Perkataan “Syai’un” berfaedah itsba>t (menetapkan), sementara klausa “laisa bisyai’in” berarti “penegasian”. Firman Allah swt. Qul Ayyu Syai’in Akbaru Syaha>datan, Qulillah” (QS. al-An’am/6: 19) berarti bahwa Allah swt. adalah dzat yang Mauju>d (ada/tetap) bukan tiada_.
Penjelasan imam al-Baqillani di atas secara eksplisit mengakomodir penisbatan kata Mauju>d kepada Allah swt, khususnya dalam konteks ikhba>r. Allah Mauju>d berarti Allah adalah dzat yang Maha Ada dan tetap dan mustahil tiada _(ma’du>m)_
Senada dengan penjelasan di atas, Ibnu Hajar al-‘Asqalani (773 – 852 H) dalam Kitab Fathul Bari syarah Shohih Bukhari saat mengomentari QS. Qul Ayyu Syai’in Akbaru Syaha>datan, Qulillah” (QS. al-An’a>m/6: 19) memberikan komentar:
فتح الباري لابن حجر - (20 / 493)
قُلْ أَيّ شَيْء أَكْبَر شَهَادَة ؟ قُلْ اللَّه . فَسَمَّى اللَّه تَعَالَى نَفْسه شَيْئًا
Pada ayat ini Allah swt menyebut dirinya sendiri dengan term “syai’.
Lebih lanjut beliau menguraikan:
عَلَى أَنَّ لَفْظ شَيْء يُطْلَق عَلَى اللَّه تَعَالَى وَهُوَ الرَّاجِح أَيْضًا ... إلى أن قال... وَالشَّيْء يُسَاوِي الْمَوْجُود لُغَة وَعُرْفًا
_Lafaz Syai’ pada ayat diatas digunakan untuk merujuk kepada Allah swt. dan itulah pendapat yang ra>jih … kata syai’ sama dengan lafaz Mauju>d, baik secara kebahasaan ataupun penggunaan secara ‘uruf_.
Baik al-Baqilla>ni maupun Ibnu hajar al-Asqala>ni dengan tegas menisbatkan kata mauju>d untuk sebagai penjelas dari dzat Allah swt, dan keduanya menyandarkan pandangannya ini pada pemahaman terhadap QS. al-An’a>m/6: 19.
Tidak hanya dua ulama besar di atas, Imam Al-Ghazali (450- 505 H) sebagai salah satu pioner di kalangan Asya’irah, juga kerap menggunakan kata “mauju>d” dalam kontkes ikhba>r tentang Allah swt. Hal ini misalnya dapat ditemui dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqa>d berikut:
ونحقق عندهم أنه موجود ليس كمثله شيء، وهو السميع البصير (ص. 16)
_“Kami tegaskan kepada mereka bahwa Dia (Allah swt) adalah dzat yang “mauju>d”, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah dzat yang Maha mendengar lagi maha melihat”_.
هو أنا نقول أن الباري سبحانه موجود وذات، وله ثبوت وحقيقة، وإنما يخالف سائر الموجودات في استحالة كونه حادثاً أو موصوفاً بما يدل على الحدوث (ص. 19)
_Kami katakan bahwa Allah swt. Mauju>d, dzat, bagi-Nya tsubu>t (ketetapan) dan hakikat, Ia berbeda dengan segala sesuatu yang ada dalam hal kebaharuan atau yang memiliki sifat yang menunjukkan kebaharuan (hudu>ts)_.
Untuk memberikan batasan yang jelas tentang asma’ dan sifat-sifat bagi Allah swt., Ibnu Qoyyimi al-Jauziy (691-751), seorang ulama besar dari Madzhab Hanbali, dan murid dari Ibnu Taymiyyah dan al-Harawi, memberikan penjelasannya dalam Kitab Fa>idah Jali>lah fi> Qawaidi al-Asma’ wa As-Shifa>t :
أنّ ما يطلق عليه في باب الأسماء والصفات توقيفيٌ، وما يطلق عليه في باب الإخبار لا يجب أن يكون توقيفيًا؛ كالقديم والشيء والموجود والقائم بنفسه (ص. 25)
_Sesuatu yang dimaksudkan merujuk kepada Allah dalam bab Asma>’ (nama-nama) dan sifat semuanya bersifat Tauqi>fi (berdasarkan petunjuk langsung dari nabi), sedangkan dalam kontkes ikhba>r (pemberitahuan/penjelasan) tidak diharuskan tauqi>fi, seperti kata Qadi>m, syai’, mauju>d, dan qa<’imun binafsihi_.
Mengacu pada ulasan panjang di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa klausa *La ilaha illa Allah Hayyun Maujud* dapat dibenarkan dari aspek makna dan akidah. Ucapan itu tidak berimplikasi pada penafian Allah swt sebagai dzat yang wujud, dan tidak pula bermakna sebagai dzat yang “diadakan” atau diwujudkan yang menghendaki adanya pihak lain yang mengadakan. Ungkapan tersebut tepatnya menegaskan bahwa Allah swt. adalah dzat yang Maha Hidup, wujud, ada dan mustahil tiada.
_Wallahu A’lam_
Wajok Hilir, 24 September 2022 M (27 Shafar 1444 H)
Posting Komentar